REALITANUSANTARA.COM
JAKARTA-Rinto Wardana Samaloisa dan kawan-kawan selaku kuasa hukum Dedi Juliasman Sakatsilak dan kawan-kawan akan melakukan sidang perdana dengan Mahkamah Konstitusi atas Pengujian Pasal 5 huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 Tentang Provinsi Sumatera Barat terhadap Pasal 18B Ayat(2), 28D Ayat(1), Pasal 28E Ayat(2), Pasal 28I Ayat (2) dan Ayat (3) dan Pasal 29 Ayat(2) UUD 1945, hari ini Rabu (12/10/2022). Permohonan yang diajukan oleh empat orang dari Komunitas sosial masyarakat adat “Jago Laggai” yang berafiliasi dengan Aliansi Mentawai Bersatu.
Berdasarkan rilis yang diterima dari kuasa hukum Rinto Wardana, sidang ini melakukan uji formil dan Materiil UU Provinsi Sumatera Barat tersebut secara online pada pukul 14.00 WIB. “Uji formil dilakukan karena Pembentukan Undang-Undang Provinsi Sumatera Barat Nomor 17 Tahun 2022 dianggap cacat prosedural sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan dimana masyarakat tidak pernah mendapat akses dan partisipasi untuk memberikan masukannya atas Rancangan Undang-Undang 17/2022 tersebut,” kata Rinto dari rilis yang diterima Mentawaikita.com, Rabu (12/10/2022)
Yang menjadi alasan dalam uji materiil kata Rinto, karena karakteristik sejarah, adat istiadat, bahasa, nilai-nilai sosial dan agama masyarakat Minangkabau dan Mentawai sangat berbeda. Pengakuan Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat namun dalam Pasal 5 huruf c yang menguraikan karakteristik dari Provinsi Sumatera Barat tidak menguraikan karakteristik daripada adat istiadat dan budaya Mentawai.
“Artinya, secara administratif, tegas diakui bahwa Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Barat namun pengakuan itu hanya dari aspek administratif territorial saja bukan tentang eksistensi daripada karakteristik adat istiadat dan budaya Mentawai yang selama ini diperjuangkan oleh para pemohon,” katanya.
Penduduk asli Mentawai memiliki bahasanya sendiri yang sangat berbeda dengan bahasa Minangkabau yaitu Bahasa Mentawai. Terkait dengan aspek kekerabatan, hubungan kekerabatan orang Mentawai menganut garis keturunan laki-laki (patrilineal). Sedangkan orang Minangkabau menganut garis keturunan perempuan (matrilineal). “Hubungan kekerabatan ini sangat erat kaitannya dengan masalah pewarisan dan pemberian hak-hak dalam hubungan kekerabatan orang Mentawai,” ujarnya.
Kemudian tulis Rinto, karakteristik adat-istiadat, bahasa dan nilai-nilai yang melekat pada masyarakat Minangkabau dan orang Mentawai sangat berbeda. Perbedaan itu telah ditegaskan secara historis oleh seorang pakar hukum Belanda yaitu C van Vollenhoven yang membagi Indonesia ke dalam 19 lingkungan hukum adat dimana Daerah Minangkabau dibedakan dengan Mentawai yang dapat diartikan, pembedaan ini memang patut dilakukan karena begitu tajamnya perbedaan mengenai adat istiadat, Bahasa, wilayah geografis dan nilai nilai yang berkembang dan dianut oleh orang Minangkabau dan Mentawai.
Lanjut Rinto, sebenarnya Mentawai sudah mengalami marjinalisasi yang menjadi awal dari diskriminasi, menurutnya beberapa bentuk diskriminasi lain yang dialami oleh orang Mentawai adalah ketika mencari kos-kosan, akses terhadap pekerjaan bahkan penggunaan alat-alat makan-pun tidak luput dari tindakan diskriminasi karena menyangkut identitas mereka sebagai non muslim atau orang Mentawai. “Akan sangat mudah bagi mereka mendapatkan hal itu apabila mereka bersedia mengganti keyakinannya,” ujarnya.
Kemudian munculnya stigma yang terbangun di Sumatera Barat bahwa perempuan Mentawai adalah perempuan murahan. Bahkan diri seorang perempuan Mentawai disetarakan dengan harga sebotol soft drink. “Pada sekitar tahun 1990, terbit kebijakan “Transmigrasi Lajang” yang digagas Bupati Padang Pariaman Anas Malik. Gagasan ini dimaksudkan Bupati akan mengumpulkan para lajang dan duda pensiunan Angkatan Darat dan Polisi untuk dikirim ke Mentawai sebagai transmigran supaya mereka berasimilasi dengan gadis Mentawai. Para Lajang Transmigran ini akan diberikan 2 (dua) hektar tanah untuk 20.000 orang lajang di Pulau Pagai Utara,” paparnya.
Menurut Rinto, praktik ini merupakan sejarah menyakitkan bagi masyarakat Mentawai, betapa harga diri masyarakat Mentawai dipandang rendah seperti binatang. “Bukan persoalan perkawinannya yang menjadi masalah tetapi kebijakan yang merendahkan etnis Mentawai ini diperlakukan seperti binatang. Perkawinan yang terjadi secara alamiah tidak menjadi persoalan,” jelasnya.
Rinto menilai ada konflik atas pengabaian eksistensi sejarah adat, istiadat, bahasa, nilai-nilai sosial dan agama di Mentawai. Menurut Rinto Cs, pengaturan materi muatan mengenai karakteristik adat dan budaya Minangkabau dalam ketentuan Pasal 5 huruf c UU Nomor 17 Tahun 2022 tidak dibarengi dengan pengakomodiran karakteristik adat dan budaya yang dijaga, dikembangkan dan dilestarikan oleh Para Pemohon yaitu adat dan budaya Mentawai.
“Padahal sejak dahulu, karakteristik adat dan budaya dari dua etnis yang mendiami Provinsi Sumatera Barat ini telah eksis sejak dahulu bahkan tidak dapat disangkal(negasikan) atau ditiadakan satu sama lain karena selain bertentangan dengan Konstitusi khususnya Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28E Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 juga menjadi upaya penghilangan eksistensi adat dan budaya Mentawai yang dilakukan melalui proses legislasi yang tidak akomodatif dan diskriminatif bahkan proses pembentukan UU 17/2022 tidak pernah melibatkan para pemohon selaku pegiat adat dan budaya Mentawai atau utusan atau perwakilan dari masyarakat Mentawai,” tegasnya.
Bahwa paham atau nilai falsafah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah yang dianut saudara-saudara ber-etnis Minangkabau tidak dapat secara mutatis mutandis diberlakukan kepada para pemohon selaku masyarakat Sumatera Barat yang ber-etnis Mentawai karena falsafah ini bukanlah falsafah hidup, berlaku dan dan mengikat para pemohon selaku masyarakat Sumatera Barat ber-etnis Mentawai.
“Pertentangan antara substansi materi muatan Pasal 5 huruf c UU Nomor 17 tahun 2022 Tentang Provinsi Sumatera Barat dengan Pasal Pasal 18B Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28E Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 bukan saja pertentangan materi muatan yang diatur oleh Pasal 5 huruf c UU Nomor 17 tahun 2022 terhadap Pasal-Pasal yang diatur dalam UUD 1945 tetapi pertentangan ini ditekankan pada tidak terakomodirnya karakteristik adat dan budaya yang dijaga, diurus, dikembangkan dan dilestarikan oleh para pemohon selaku masyarakat Sumatera Barat yang ber-etnis Mentawai kedalam UU 17/2022 sehingga dengan tidak diakomodirnya,” jelasnya.
Karakteristik adat dan budaya ber-etnis Mentawai ini mengakibatkan potensi timbulnya diskriminasi melalui Peraturan Daerah yang menjadi turunan atau aturan pelaksanaan daripada UU 17/2022 yang bernuansa syariat dimana sudah barang tentu Para Pemohon selaku masyarakat Sumatera Barat yang ber-etnis Mentawai tidak dapat dipaksa tunduk pada Perda tersebut karena Para Pemohon memiliki agama, adat-istiadat, Bahasa, dan nilai-nilai sosial yang tumbuh dan hidup dan dianut Para Pemohon di Mentawai.
Apabila diterbitkan peraturan-peraturan daerah yang bernuansa syariat yang menjadi aturan pelaksanaan dari Pasal 5 UU Nomor 17 Tahun 2022 maka sudah barang tentu bagi siapa saja yang tidak mematuhi peraturan-peraturan daerah tersebut akan dikenakan sanksi pidana. Hal ini menjadi momok menakutkan bagi para pemohon selaku masyarakat Sumatera Barat yang ber-etnis Mentawai dan non muslim lainnya yang tidak menganut falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah jika kedapatan melakukan pelanggaran perintah dari peraturan-peraturan daerah yang bernafaskan Pasal 5 huruf c tersebut.
“Bagaimana mungkin hukum atau aturan keagamaan atau adat-istiadat ditimpakan kepada pihak lain yang tidak tunduk pada nilai keyakinan atau adat-istiadat tersebut. Apalagi sanksi denda atau kurungan atau penjara yang dapat diatur dalam peraturan-peraturan daerah tersebut bersifat mandatory/koersif,” ujarnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas pemohon memohon kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa perkara ini untuk memutuskan, mengabulkan permohonan uji formil para pemohon untuk sepenuhnya. Menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat yang dimohonkan pengujian ini tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Begitu juga dengan uji materiil dimana pemohon meminta kepada majelis hakim MK menerima dan mengabulkan permohonan uji materiil (Judicial Review) para Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan Pasal 5 huruf c UU Nomor 17 Tahun 2022 Tentang Provinsi Sumatera Barat bertentangan dengan Pasal 18B Ayat(2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat(2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (3), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak berlaku bagi Kabupaten Kepulauan Mentawai yang memiliki adat istiadat, nilai falsafah, kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat, ritual, upacara adat, situs budaya dan kearifan lokal yang berbeda karakteristiknya dengan 11 kabupaten dan 7 kota yang termasuk dalam cakupan wilayah dan karakteristik Provinsi Sumatera Barat.
Course : Mentawai.com
Post a Comment